Hampir semua teman blogger yang mengikuti blogger challenge ini merasa sangat berat dengan tema ini. Tema ini beberapa hari yang lalu sudah sempat saya pikirkan untuk memakai tema pengganti. Akan tetapi, keinginan tersebut berhasil saya redam semalam. Mungkin nanti, dengan membaca ini, teman-teman lain dapat belajar dari kegagalan saya. Bagaimana pun juga, sebagai manusia yang ingin hidup damai dan tenteram tentu harus berdamai dengan masa lalu yang diliputi oleh penyesalan. Tapi terkadang saya sering memikirkan kalau peristiwa tersebut saya ulangi kembali, saya pasti tidak akan mencapai tahap ini. Tahap ketika usia saya semakin banyak, namun tidak banyak yang dapat saya kerjakan untuk menghasilkan uang. Hal itu yang membuat saya berpikir, kalau saja dulu saya tidak salah jurusan dan bisa lulus tepat waktu, saya pasti bisa melihat beliau bangga pada saya.
Memilih Jurusan Kuliah yang Tepat
Saya pernah membuat keputusan yang spontan saya ucapkan. Yaitu memilih jurusan Psikologi. Padahal saya adalah siswa SMA kelas Bahasa. Keputusan itu saya ambil karena pembuktian diri kalau saya mampu, mengingat saudara-saudara saya adalah lulusan ilmu eksak.
Akibat keputusan spontan itu, saya mengalami tekanan yang tidak sanggup saya handle. Mulai dari biaya semester (2,5jt/semester, harga buku materi yang mahal, dan nilai ujian yang jeblok. Masalah keluarga pun menjadi alasan saya kenapa saya merasa sangat kacau waktu itu. Yaitu ketika bapak dicurangi temannya sehingga membayar tagihan sangat banyak dan membuat biaya semester saya selalu terlambat. Dengan berbagai pertimbangan pribadi, saya akhirnya memutuskan pindah jurusan yang sejak dulu saya minati, Sastra Indonesia.
Beliau Tidak Hadir di Wisuda Saya
Pindahnya saya ke jurusan itu bukan serta merta lancar. Ada air mata ibu yang saat itu saya korbankan karena saya pindah jurusan. Ibu adalah orang yang menolak keinginan saya untuk pindah jurusan. Awalnya ibu memang tidak bisa menerima, namun lambat laun ibu semakin lunak pada saya.
Setahun sebelum saya sidang skripsi, 2012, saya mendapat kabar duka bahwa ibu meninggal dunia mendadak.Kabar itu tidak saya dapatkan dari keluarga saya, melainkan teman SD saya. Teman saya tidak tahu bahwa dalam perjalanan pulang, keluarga saya merahasiakan kejadian ini sampai saya tiba di rumah. Akibatnya saya menangis di dalam bus kota sepanjang perjalanan pulang. Tahun itu menjadi terasa berat tanpa kehadiran ibu saya.
Sulit Mendapat Pekerjaan yang Sesuai
Setelah tiga tahun menganggur, saya pun diterima di penerbitan di Surabaya pada 2016. Dua tahun bekerja sebagai editor, saya tiba-tiba diminta untuk membantu bagian toko dan mengelola toko online. Sayangnya, HRD di sana tidak mau mencari orang baru sehingga harus mengambil karyawan dari divisi lain. Sayalah yang dianggap paling mengerti tentang toko online. Saya tidak tahu bagaimana harus menolak, karena saya berpikir ini akan menjadi kesempatan saya untuk mengembangkan diri. Tapi ternyata, masalah lain terjadi ketika saya diminta lagi menjadi kasir toko dan masuk setiap hari.

Pada saat itu, bapak saya baru saja masuk RS karena komplikasi. Otomatis saya harus bergantian dengan kakak saya menjaga bapak. Saya pun menyampaikan keberatan kepada HRD karena alasan itu, dan juga saya seorang ibu yang anaknya masih 5 bulan waktu itu. Akibatnya, setelah penolakan saya itu, HRD ‘merumahkan’ saya. Agak menyakitkan untuk saya waktu itu karena saat itu suami juga kena PHK. Tapi saya tidak menangis karena pada dasarnya saya memang ingin resign, tapi tidak di waktu seperti itu. Sejak saat itu saya merasa dicurangi oleh manajemen perusahaan yang sudah dua tahun saya mengabdi dan menghasilkan 6 buku untuk diujikan ke Pusat Kurikulum Buku. Menyesal karena menerima tawaran pindah divisi.
Dari peristiwa itu, saya sering berharap kalau saja saya tidak salah jurusan sejak awal, saya tidak akan merasa ditinggalkan seperti itu. Mungkin saja ibu bisa hadir di wisuda saya. Usia saya masih produktif untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang lebih baik. Dan melihat ibu saya bermain dengan cucunya. Tapi di sisi lain, kalau peristiwa itu tidak terjadi, saya mungkin tidak akan mengenal teman-teman saya di Psikologi yang selalu mensupport saya pindah jurusan (berasa kaya diusir gitu dan bertemu teman-teman baru di Sastra Indonesia yang mengenalkan saya pada dunia tulis menulis. Atau kalau peristiwa tersebut tidak terjadi, saya mungkin tidak bertemu anak saya, Hayunda, yang saat ini mencapai usia 1 tahun. Dengan adanya mereka di kehidupan saya saat ini, saya selalu bersyukur dengan apa yang terjadi. Karena di balik penyesalan selalu ada pelajaran.
Dan saya yakin segala sesuatu yanga terjadi pasti mendatangkan kebaikan kan Mbak
Amin, Mbak… 🙂