Pengalaman Melahirkan Induksi

Kelahiran dengan induksi artinya, upaya untuk mempercepat proses kelahiran bayi secara normal. Ini biasanya digunakan ketika usia kandungan mencapai lebih dari 40 minggu. Jadi rahim diberi stimulasi agar muncul kontraksi. Dengan begitu, kelahiran bayi akan lebih cepat dibandingkan menunggu kontraksi yang alami.

Keputusan Induksi

Pada awal Desember 2017, saya terpaksa melakukan induksi melalui berbagai pertimbangan.

  • Pertama, SpOG saya waktu itu dari rumah sakit B Nganjuk, menyatakan usia kandungan saya adalah 41 minggu. Beliau menilai seperti itu berdasar pada perhitungan bidan saya waktu pertama kali cek apakah saya benar hamil atau tidak. Dan saya dinyatakan hamil dengan usia kandungan 8 minggu, versi bidan pertama dengan perkiraan lahir akhir bulan November 2017. Karena waktu itu saya masih bekerja di Surabaya, saya harus gonta ganti dokter spesialis. Dan SpOG terakhir, –yang menurut saya hasilnya lebih akurat– menyatakan USG saya sehat dan bisa melahirkan normal, dengan PHL (perkiraan hari lahir) 21-22 Desember 2017. Perkiraan bidan dan dokter spesialis selisihnya jauh bangettttt kan??
USG terakhir dari dokter Hendrik Juarsa, SpOG
  • Kedua, karena saya mulai cuti kerja pada 26 November 2017, otomatis, saya harus masuk kembali pada bulan Februari 2018. Bayangan saya, kalau saya melahirkan lebih cepat akan lebih baik karena bisa lebih lama dengan anak saya. Saat itu kebijakan di kantor saya adalah tiga bulan cuti melahirkan, bukan yang dibagi dua.
  • Alasan ketiga, yang terakhir, dan menurut saya terlalu dipaksakan oleh SpOG RS B. Adalah faktor kartu BPJS. Di sana saya sebenarnya kurang yakin dengan keputusan menggunakan induksi. Akan tetapi, dokter spesialis tersebut mengatakan kalau BPJS saya yang rujukan dari puskesmas tidak bisa digunakan lagi selain hari itu. Saya mulai tertekan dengan pernyataan dokter spesialis tersebut. Saya tidak merasakan adanya kontraksi atau tanda-tanda mau melahirkan lainnya. Dokter spesialis saya di Surabaya juga menyatakan usia kandungan masih 36 minggu. Tapi dua minggu kemudian usia kandungan saya dinyatakan 42 minggu sama dokter dari RS B. Hmm..

Buat saya aneh. Karena dokter di RS B lebih merujuk pada bidan pertama saya. Padahal beliau sudah melihat foto USG terakhir saya dari dokter spesialis terakhir Surabaya dan sudah saya tunjukkan kalau usia kandungan saya masih 36 minggu, waktu itu. Tapi beliau lebih kekeh sama pernyataan bidan. Oke, saya pun merujuk pada alasan kedua di atas, yaitu masa cuti kerja yang terbatas. Saya pun setuju untuk melakukan induksi.

Baca Juga:  Mengawetkan Nasi dengan Jeruk Nipis

 

Metode Induksi yang Digunakan

Pada pukul 09.00 saya sudah memperoleh kamar VIP, artinya saya harus membayar separuh harga karena BPJS saya memakai kelas 1. Dokter spesialis datang dan mulai memasukkan obat seperti kapsul melalui jalan lahir atau vagina saya. Sampai pukul 16.00, belum ada tanda-tanda kontraksi tapi sudah mencapai pembukaan kedua. Saat itu saya diberi lagi obat kedua dengan cara yang sama.

Berdasarkan saran yang saya dapat dari berbagai forum, saya harus berjalan-jalan dan melakukan gerakan senam agar cepat terjadi kontraksi. Sore itu, pukul 17.00 saya pun jalan-jalan mengelilingi RS ditemani ibu mertua. Setelah jalan-jalan selesai, saya mulai mengeluarkan dua-tiga tetes darah dari jalan lahir. Lalu saya memutuskan untuk berbaring cantik di tempat tidur sambil menunggu tanda-tanda lainnya.

Pukul 18.30, saya mulai merasakan mulas seperti orang ingin BAB, yang semakin lama semakin sakit dan tidak boleh berteriak. Saya termasuk orang yang tidak bisa menahan sakit, jadi pantangan untuk tidak berteriak saat kontraksi terpaksa saya langgar. Pukul 21.00, saya sudah mulai dipindahkan ke ruang persalinan. Saya memilih ibu mertua yang menemani saya selama proses persalinan karena beliau lebih tatag (bahasa Jawa, cepat bertindak dan tepat sasaran) daripada suami saya ketika menghadapi situasi seperti ini. Saking tak tahannya dengan rasa sakit, saya sempat berkali-kali meminta operasi caesar saja. Tapi ibu mertua saya yang sabar banget memilih menenangkan saya dan melanjutkan proses persalinan secara normal.

Drama ini membuat saya harus kena marah oleh bidan yang melakukan persalinan saya. Saking tidak bisa menahan rasa sakit, saya harus menarik tirai pembatas. Wajar bidan dan perawat lain geram dengan ulah saya yang bisa dibilang paling rewel diantara pasien lainnya di kamar sebelah.

Baca Juga:  Tips Membaca Menyenangkan Bersama Let’s Read

 

Ending Drama: Kelahiran dan Jahitan

Metode induksi memang lebih cepat dibandingkan persalin dengan kontraksi alami. Dari metode ini, saya hanya mengalami kontraksi selama kurang lebih 4,5 jam saja. Pukul 23.00, beberapa menit setelah perawat membuat sobekan, anak perempuan saya keluar dengan suara tangisan yang membuat hati saya bergidik.

“Anak saya sudah lahir? Ini anak pertama saya? Ini beneran anak saya!”

Dengan menahan rasa sakit dan nafas kembang kempis, saya terus bertanya pada diri sendiri seperti itu. Ibu mertua saya sibuk mengurusi keperluan kebersihan saya. Saya pun diberi kesempatan melihat wajah bayi yang saya lahirkan dan menciumnya. Lega rasanya saya masih bertahan hidup dan anak saya lahir dengan selamat.

Akan tetapi kelegaan itu tidak berlangsung lama, saya masih harus merasakan sakit ketika bidan membersihkan isi rahim saya dengan tangannya. Saat itu saya sudah kehabisan tenaga untuk menangis dan berteriak. Jadi, saya hanya menggenggam tangan ibu mertua saya dengan sangat kuat sambil mengernyit. Setelah bersih-bersih isi rahim saya, perawat melanjutkan kewajibannya menjahit sobekan yang dibuatnya. Saya pikir sobekannya tidak terlalu panjang, ternyata berlangsung kurang lebih 1 jam lamanya. Dan saya sekuat tenaga harus menahan sakitnya jahitan tanpa anastesi.

Pukul 00.30, persalinan saya benar-benar selesai dan saya dikembalikan ke kamar saya untuk beristirahat dan dapat melihat anak saya lagi pagi harinya. Sekiranya seperti ini drama melahirkan dengan metode induksi yang saya alami pada Desember 2017 yang lalu. Sedikit tambahan, saya mengalami pengalaman kurang menyenangkan dari pihak RS B pada pagi harinya. Tapi apa boleh buat, saya lagi-lagi terpaksa mengikuti prosedur dari RS B yang tidak masuk akal agar bisa menyusui anak saya di hari pertamanya lahir. Dan sekarang anak saya, si Hay, tumbuh jadi balita yang super aktif dan selalu ceria.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.